Menyoal Hitung Kerugian Negara Kasus Tom Lembong

 

 

Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik

 

Ketika Tom Lembong ditersangkakan merugikan keuangan negara Rp578 miliar melalui penghitungan yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), muncul reaksi mempertanyakan mengapa bukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Akuntan Publik (AP) yang melakukannya?

Bahkan, ketika Kuasa Hukum Tom Lembong bereaksi menagih salinan hasil audit BPKP yang jadi dasar ditersangkakannya Tom, mengindikasikan dugaan seakan Jaksa Penuntut Umum tidak menghendaki persidangan berjalan seterang-terangnya. Publik pun bereaksi keras menilai persidangan tidak transparan dan cenderung sesat jika audit BPKP tidak diserahkan kepada Kuasa Hukum Tom.

Tulisan ini hendak mempertegas bagaimana sesungguhnya posisi hukum BPKP sebagai penghitung kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Oleh karena BPKP sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) esensinya hanya bertugas mengawasi keuangan negara dan pembangunan nasional karena BPKP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 

BPKP pun dibentuk atas dasar Perpres 192/ 2014 tentang BPKP yang diubah dengan Perpres 2/ 2025. Persoalan hukumnya muncul ketika publik menghendaki lembaga independen yang berhak melakukan audit atas ada tidaknya kerugian negara, terlebih untuk dinilai keadilan dan kepastiannya dalam sidang di pengadilan.

Ketika BPKP dijadikan penghitung kerugian negara dalam kasus korupsi, keadilan dan kepastiannya kerap diragukan. Penunjukan BPKP sebagai penghitung kerugian negara dalam pidana korupsi, hingga saat ini menjadi persoalan karena ketidakjelasan UU yang mengaturnya. Ketidakjelasan juga disebabkan frasa ‘kerugian negara’ dalam UU yang menimbulkan ketidakpastian.

Beruntungnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 25/PUU-XIV/2016 telah mengubah perbuatan korupsi semula delik formil menjadi delik materiil, sehingga memberi kepastian dengan pertimbangan rasional akan nilai kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara riil, bukan potensi.

Penghitung Kerugian Negara

            Esensi kerugian negara sebenarnya dapat dilihat dalam konteks hukum administrasi atau pidana. Kerugian negara dalam UU Perbendaharaan Negara No.1/2004 merupakan hukum administrasi karena kerugian dapat diganti (dipulihkan) pihak yang bersalah. Sedangkan kerugian dalam UU Tipikor Nomor 31/2009 menjadi ranah pidana.

            Kedua ranah hukum tersebut esensinya memerlukan kejelasan berapa jumlah kerugian yang terjadi. Pertanyaan pokoknya, siapa yang berhak ditunjuk sebagai penghitung kerugian negara? Sebagian pihak cenderung menafsirkan, jika negara dirugikan mestinya BPK satu-satunya institusi yang berhak menghitung dan mendeclare kerugian negara.

Menyikapi ketidakjelasan penghitung kerugian negara, Mahkamah Agung (MA) pun menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2016 dengan menegaskan dan mengembalikan posisi hukum BPK yang memiliki kewenangan konstitusional, sebagai lembaga penghitung kerugian negara.

Sedangkan BPKP tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang men-declare adanya kerugian keuangan negara. SEMA 4/2016 hendak menegaskan posisi hukum BPK sebagai satu-satunya penghitung yang punya kewenangan menghitung dan men-declare kerugian negara.

Terbitnya SEMA 4/2016 mestinya sudah mematahkan dan membatalkan argumentasi Jaksa menunjuk BPKP sebagai penghitung kerugian negara. Tidaklah logis jika hakim memaksakan diri memutus salah Tom Lembong, jika hakim sudah memiliki pedoman jelas memutus perkara berkaitan dengan kerugian negara.

Pada sisi lain memang dapat dipahami bahwa prinsip hukumnya bukan soal apakah BPK, BPKP atau Akuntan Publik (AP) yang dapat dan patut ditunjuk melakukan penghitungan kerugian negara. Karena tiga lembaga itu tidak diragukan lagi kemampuan dan kapabilitasnya dalam menghitung kerugian negara.

Namun, prinsip hukum yang dipersoalkan adalah soal independensi. Pertanyaannya, mengapa Jaksa tidak meminta BPK atau AP untuk dilibatkan menghitung kerugian negara? Hukum sudah menunjuk AP sebagai satu-satunya lembaga swasta dan independen karena tidak berkaitan dengan status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) serta tidak memperoleh penghasilan dari APBN.

Kata kunci ‘independen’ dan ‘mumpuni’ menghitung kerugian negara, tentu merupakan parameter mutlak agar keadilan dan kepastian hukumnya dicapai. Posisi BPK maupun AP sebagai penghitung kerugian negara independent memberi makna bahwa kita tidak lagi berpusat pada peraturan dan perubahan peraturan (changing the law) tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Perdebatan ketidakjelasan dan ketidaksempurnaan undang-undang mengatur posisi hukum penghitung kerugian negara, patut dipahami dan bukan merupakan penghalang bagi penegak hukum seperti hakim untuk memutus perkara melalui hukum progresif (responsif) guna menghadirkan keadilan dan kepastian bagi pencari keadilan.

Simpulan

            Dari sisi hukum pidana, konsep kerugian negara harus sudah pasti sejak ditetapkan sebagai tersangka. Pihak yang berwenang menghitung dan mendeclare jumlahnya juga harus pasti termasuk jumlahnya. Pasti jumlahnya berkaitan juga dengan metode, standar yang digunakan yang tidak berbasiskan asumsi, judgment dan estimasi.

Penyelesaian kasus Tom Lembong secara terang benderang kiranya memberi pelajaran bahwa hukum patut menjadi acuan kita semua menilai persoalan hukumnya secara jernih dengan melihat cahaya nurani dalam pribadi seluruh penegak hukum. Semoga !

BERITA TERKAIT

Indonesia Perkuat Peran Global Lewat Konferensi ke-19 PUIC

  Oleh: Laras Indah Sari, Pemerhati Kebijakan Internasional   Indonesia kembali menegaskan posisinya sebagai kekuatan diplomasi strategis di dunia Islam…

Strategi Peningkatan Daya Beli Upaya Penguatan Ekonomi Nasional

    Oleh : Jodi Mahendra, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah terus berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah…

Saran Membangun Koperasi Merah Putih

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Senior Indef & Rektor Universitas Paramadina   Koperasi Merah Putih sebagai pilar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Perkuat Peran Global Lewat Konferensi ke-19 PUIC

  Oleh: Laras Indah Sari, Pemerhati Kebijakan Internasional   Indonesia kembali menegaskan posisinya sebagai kekuatan diplomasi strategis di dunia Islam…

Strategi Peningkatan Daya Beli Upaya Penguatan Ekonomi Nasional

    Oleh : Jodi Mahendra, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah terus berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah…

Menyoal Hitung Kerugian Negara Kasus Tom Lembong

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik   Ketika Tom Lembong ditersangkakan merugikan keuangan negara Rp578 miliar melalui…