Oleh: Sri Purnama Syam, Budayawan Jambi
Bak bangun dari tidur panjangnya, Kelintang Perunggu kembali dipertunjukkan dalam Festival Baswara Nuraga Nusantara di Jambi, Minggu, 20 Oktober 2024. Meskipun usia Kelintang Perunggu sudah hitungan abad, alat musik tradisional ini tetap berhasil memukau para penonton. Memang demikian adanya karena irama yang dihasilkan mampu menciptakan imajinasi kepada setiap pendengarnya. Hal tersebut kian diperkuat dengan kesan tenang yang diberikannya.
Bukanlah tanpa pertimbangan mengapa alat musik tersebut yang dipilih untuk dipentaskan di Festival Baswara Nuraga Nusantara. Dua di antaranya karena masih berkelindan erat dengan sejarah dan budaya tradisi masyarakat Jambi.
Diketahui Festival Baswara Nuraga Nusantara merupakan satu dari 12 rangkaian kegiatan festival budaya Kenduri Swarnabhumi 2024 yang menjadi katalis bagi upaya pelestarian budaya dan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga warisan nenek moyang untuk generasi mendatang.
Kenapa Kelintang Perunggu?
Meskipun tidak diketahui pasti kapan mulanya muncul, tapi alunan Kelintang Perunggu di Jambi diyakini sudah dimulai sejak berabad-abad lalu. Keberadaannya pun tidak lepas dari peran sentral DAS Batanghari yang menjadi pusat perekonomian dan jalur transportasi.
DAS Batanghari, sebagaimana kita ketahui, menjadi saksi kunci peradaban Jambi. Sungai terpanjang di Pulau Sumatra tersebut menyaksikan langsung bagaimana Bumi Melayu menjadi pusat peradaban Buddha pada abad ke-7.
Saat peradaban Buddha inilah yang diyakini masyarakat sebagai periode awal Kelintang di tanah Jambi. Masuknya Kelintang Perunggu ke Bumi Melayu diyakini pula melalui Sungai Batanghari. Hal ini berdasarkan keyakinan masyarakat yang meyakini nenek moyang tidak membuat sendiri alat musik itu, melainkan membawanya dari Thailand.
Alat musik yang diboyong nenek moyang itulah yang hingga kini masih bertahan dan digunakan.
Keberadaan Kelintang di Jambi lantas tersebar ke berbagai daerah. Misal, di daerah yang kini menjadi Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dua kabupaten terakhir kerap disebut Jambi pesisir.
Adapun nama Kelintang di setiap daerah bisa berbeda-beda. Misal, di Kabupaten Sarolangun Kelintang disebut Kromong yang pembuatannya juga dari perunggu.
Di sisi lain, hal unik dari Kelintang Perunggu terletak dari pemainnya. Terkait ini, pada mulanya yang memainkan alat musik tradisional tersebut adalah para kaum ibu.
Jadi, itulah yang terbilang sebagai bagian dalam mempertimbangkan mengapa Kelintang Perunggu kembali dipentaskan dalam Festival Baswara Nuraga Nusantara.
Dalam sejarahnya, keberadaan alat musik tradisional tersebut sangat erat dengan Sungai Batanghari. Lebih dari itu, Kelintang menjadi bukti bagaimana kekayaan budaya Jambi yang sudah ada sejak peradaban Buddha.
Maka menjadi sikap yang penting dan mendesak untuk melakukan sosialisasi, edukasi, dan pelestarian Kelintang, yang salah satunya melalui pementasan di Festival Baswara Nuraga Nusantara.
Adapun pertimbangan berikutnya, masih terkait dengan sepak terjang Kelintang Perunggu dalam kehidupan masyarakat. Kiranya hal ini pula yang perlu diketahui sebagai bahan pembelajaran bersama.
Bukan Sekadar Irama
Irama yang dihasilkan Kelintang Perunggu bukan sekadar bunyi merdu untuk estetika semata. Hal ini wajib saya kemukakan karena faktanya memang ada makna dan maksud tertentu dari setiap pukulan alat musik tersebut.
Untuk diketahui, paling tidak ada 18 jenis pukulan atau irama Kelintang Perunggu. Masing-masing jenis dimainkan untuk acara-acara tertentu. Ketentuan tersebut pun juga berlaku untuk Kelintang Perunggu yang ada di Jambi pesisir.
Perihal ini, saya akan mencontohkan jenis pukulan atau irama kedungku. Oleh masyarakat, irama ini hanya boleh dimainkan untuk ritual pengobatan makan di kelung.
Apabila ketentuan tersebut diabaikan dengan memainkannya di luar ritual pengobatan, maka yang memainkannya bisa kerasukan. Begitukah kiranya keterangan masyarakat yang saya terima.
Terkait dengan ritual pengobatan ini, sesungguhnya tidak spesifik mengobati penyakit tertentu. Masyarakat Melayu pesisir hanya melakukannya ketika ada seseorang yang sedang sakit dan telah berobat, tapi tidak sembuh-sembuh.
Kendati demikian, upacara makan di kelung sudah lama sekali tidak dilakukan dan keberadaannya hampir punah. Pasalnya, pihak yang mengetahui prosesnya khawatir dianggap melakukan perbuatan syirik ketika melakukannya.
Bahkan, dalam satu upaya pendokumentasian untuk keperluan pendaftaran Warisan Budaya Takbenda (WBTb), tim yang terlibat butuh waktu sampai empat tahun untuk mendapatkan izin.
Izin yang dimaksud diperoleh dari keluarga pewaris Kelintang Perunggu, pihak yang juga mengetahui bagaimana prosesi ritual tersebut.
Butuh waktu lama untuk mendapatkan izin ini, juga yang mengindikasikan memang ada kekhawatiran dianggap melakukan perbuatan syirik ketika melakukan upacara makan di kelung.
Situasi tersebut seharusnya tidak terjadi karena upacara makan di kelung termasuk tradisi yang diwariskan nenek moyang.
Lebih lanjut, contoh irama lain Kelintang Perunggu yang memiliki fungsi adalah serame yang dimainkan pada malam tari inai atau malam inai. Upacara ini berlangsung pada malam pernikahan.
Selain itu, ada pula irama yang dimainkan dengan fungsi sebagai undangan kepada masyarakat kalau di lokasi sumber suara Kelintang Perunggu sedang ada upacara atau acara.
Hal tersebut lantas memuat argumentasi, bahwa Kelintang Perunggu juga dijadikan masyarakat sebagai sarana komunikasi.
Akan tetapi, kabar kurang baiknya, dari 18 jenis pukulan, saat ini yang masih diingat tinggal 11 irama saja. Dari jumlah tersebut yang paling sering dimainkan adalah pukulan serame. Sementara itu, tujuh pukulan lainnya bisa dikatakan punah karena sudah jarang sekali dimainkan.
Kekinian, pukulan kedungku untuk ritual pengobatan yang terancam hilang. Hal ini adalah konsekuensi yang dihadapi tatkala ritual makan di kelung sudah jarang sekali dilakukan.
Lepas dari itu, selain karena Kelintang berbahan perunggu, adanya upacara makan di kelung pula yang memperkuat indikasi kalau Kelintang sudah masuk di Jambi pada saat peradaban Buddha, sebelum Islam.
Hubungan Kelintang Perunggu dengan budaya akuatik masyarakat Jambi terlihat dari prosesi upacara adat yang menggunakan alat musik tradisional tersebut. Perihal ini, kita bisa melihat contohnya dalam ritual makan di kelung yang dalam pelaksanaannya menyediakan sesaji.
Sesaji yang dimaksud ada bermacam-macam makanan yang kemudian dibentuk seperti buaya. Kue yang berbentuk buaya ini terbuat dari ketan hitam dan dikasih telur. Adapun hewan tersebut dipilih karena hidup di air dan kuat.
Di sisi lain, buaya dipilih karena dianggap sebagai hewan yang hidupnya berdampingan dengan masyarakat, sehingga perlu ada sikap saling menghormati.
Situasi tersebut pun menarik untuk kita tinjau. Pasalnya, mencerminkan tentang bagaimana keharmonisan alam, lingkungan, dan manusia ternyata sudah berlangsung sejak lama di Bumi Melayu.
Contoh tersebut menjadi bukti bagaimana Kelintang Perunggu memiliki kaitan erat dengan budaya akuatik masyarakat di Bumi Melayu. Dan memang dapat dikatakan wajar, sebab proses masuknya saja juga sudah melalui perairan: Sungai Batanghari.
Kini, keberadaan alat musik tradisional yang sudah berusia berabad-abad ini nyaris punah. Pemerhati budaya di Jambi pun berharap ada upaya pelestarian.
Perihal ini, harapan terbesarnya adalah Kelintang Perunggu dijadikan sebagai WBTb. Setelah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda, didorong ada aksi dari pemerintah kabupaten terhadap karya budaya tersebut.
Aksi yang dimaksud, bisa dengan menjadikan Kelintang sebagai bahan ajar di sekolah, mulai dari jenjang SD sampai SMA.
Menjadikan Kelintang sebagai bahan ajar adalah langkah strategis dalam upaya pelestarian. Hal ini situasinya kian mendesak mengingat sudah ada tujuh dari 18 jenis pukulan Kelintang Perunggu yang hilang.
Meskipun kekinian ada beberapa sanggar yang membuka pelatihan memainkan Kelintang Perunggu, tapi itu belum cukup. Pasalnya, sanggar-sanggar hanya mengajarkan pukulan serame yang notabene sering digunakan.
Sedang menjadikannya sebagai bahan ajar, dengan maksud melestarikan semua jenis irama yang masih bertahan dan diketahui hingga kini.
Maka dari itu, pemerintah kabupaten diharapkan bisa segera melakukan aksi nyata pelestarian setelah Kelintang Perunggu ditetapkan menjadi WBTb Indonesia. Aksi yang dimaksud, bisa diawali dengan sosialisasi.
Oleh : Naumi Arika, Pemerhati Sosial Budaya Pemerataan ekonomi menjadi salah satu tujuan utama yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka…
Oleh Dania Wiastika, Pengamat Kebijakan Publik Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang mewah dan produk jasa…
Oleh: Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perjudian online telah menjadi salah satu masalah sosial yang semakin…
Oleh : Naumi Arika, Pemerhati Sosial Budaya Pemerataan ekonomi menjadi salah satu tujuan utama yang dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka…
Oleh Dania Wiastika, Pengamat Kebijakan Publik Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang mewah dan produk jasa…
Oleh: Sri Purnama Syam, Budayawan Jambi Bak bangun dari tidur panjangnya, Kelintang Perunggu kembali dipertunjukkan dalam Festival Baswara Nuraga…