Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dilaksanakan pada 6 Januari 2025 merupakan inisiatif ambisius pemerintah untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan gizi masyarakat. Dengan 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tersebar di 26 provinsi, program ini bertujuan menjangkau 3 juta penerima manfaat tahap awal dan meningkat menjadi 17 juta penerima pada akhir tahun.
Namun, pelaksanaannya pada awal Januari 2025, yang mendahului kebiasaan program pemerintah lain yang biasanya dimulai Februari-Maret, menimbulkan pertanyaan tentang sumber dana yang digunakan untuk menjalankan program ini.
Apakah ada pihak ketiga yang memberikan talangan? Jika demikian, transparansi terkait keterlibatan pihak ketiga harus dijelaskan.
Selain itu, sentralisasi dapur yang berada dalam kendali Kodim atau koordinasi dengan tentara juga mengundang kritik. Lokasi dapur yang cukup jauh dari banyak sekolah menambah kekhawatiran terkait efektivitas akses makanan bagi penerima manfaat.
Dengan berbagai elemen yang melibatkan militer, logistik, dan lokasi, muncul pertanyaan mengenai apakah program ini cukup transparan dan sesuai dengan prinsip akuntabilitas yang diharapkan masyarakat.
Peran Kodim dan tentara dalam program ini juga menimbulkan kritik, karena tupoksi utama mereka adalah pertahanan dan keamanan, bukan penyediaan makanan bergizi. Apakah keterlibatan militer dalam pengelolaan dapur SPPG menunjukkan upaya kodimisasi dalam program ini?
Selain itu, peran kementerian lain seperti Kementerian Sosial, Badan Pangan Nasional, dan kementerian terkait lainnya tampak kurang menonjol dalam pelaksanaan MBG. Padahal, mereka memiliki keahlian teknis dan infrastruktur yang lebih relevan untuk memastikan keberhasilan program.
Ketidakseimbangan ini memunculkan pertanyaan tentang koordinasi antarlembaga pemerintah dan apakah pengalihan tanggung jawab ke militer merupakan langkah yang tepat.
Distribusi Lokasi Tidak Merata
Salah satu masalah utama dalam implementasi program ini adalah distribusi lokasi dapur SPPG yang tidak merata. Jawa Barat, misalnya, memiliki 58 lokasi, sementara beberapa provinsi lain seperti Bali, Gorontalo, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara masing-masing hanya memiliki satu lokasi.
Ketimpangan ini dapat menyebabkan ketidakadilan akses bagi masyarakat di daerah dengan infrastruktur yang kurang berkembang. Kesenjangan distribusi ini juga mengindikasikan bahwa pemerintah mungkin kurang mempertimbangkan kebutuhan gizi di setiap daerah secara spesifik.
Daerah-daerah seperti Papua Barat dan Papua Selatan, yang memiliki angka stunting tinggi, hanya memiliki dua dan satu dapur masing-masing. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah program ini benar-benar dirancang untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang paling membutuhkan.
Dalam tahap awal implementasi, pemerintah hanya fokus pada daerah yang "siap" menerima program. Kriteria kesiapan ini, seperti ketersediaan lahan dan bangunan, membatasi cakupan program ke daerah yang relatif lebih maju. Akibatnya, daerah tertinggal yang paling membutuhkan intervensi gizi mungkin malah tidak terjangkau oleh program ini.
Selain itu, radius pelayanan dapur SPPG, yang maksimal dua kilometer dari penerima manfaat, mungkin tidak realistis di banyak daerah dengan infrastruktur transportasi yang buruk.
Di wilayah pedalaman atau daerah terpencil, penerima manfaat mungkin harus menempuh perjalanan panjang untuk mendapatkan makanan, sehingga tujuan utama meningkatkan aksesibilitas gizi menjadi terhambat.
Potensi Korupsi?
Dengan alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun pada RAPBN 2025, jauh di bawah estimasi awal Rp460 triliun yang diproyeksikan saat kampanye, program ini menghadapi risiko Korupsi dan Menguap Anggaran jika tidak dikelola dengan baik.
Biaya per porsi makanan yang direvisi menjadi Rp10.000 tampak rendah, namun pertanyaannya adalah apakah dengan anggaran tersebut kualitas dan kuantitas makanan yang disediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi penerima manfaat.
Pemerintah juga perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, ada risiko dana disalahgunakan atau tidak digunakan secara efisien. Contohnya, biaya operasional untuk dapur-dapur yang tersebar di seluruh negeri bisa membengkak akibat logistik, gaji tenaga kerja, dan perawatan fasilitas.
Sistem penyaluran program ini juga tampak terlalu kompleks dan rentan terhadap hambatan operasional. Dengan banyaknya standar yang harus dipenuhi, seperti radius pelayanan dan kapasitas melayani 3.000 penerima manfaat per dapur, implementasi dapat menjadi lambat dan tidak merata.
Selain itu, dengan banyaknya titik distribusi, koordinasi antara dapur SPPG, pemerintah daerah, dan penerima manfaat menjadi tantangan besar. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyebutkan bahwa program ini bersifat universal tanpa prioritas.
Namun, pendekatan universal ini justru dapat memperumit alokasi sumber daya, terutama jika tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengidentifikasi daerah yang paling membutuhkan. Hal ini berisiko menciptakan ketimpangan lebih lanjut dalam akses makanan bergizi.
Program MBG juga berpotensi menciptakan ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah. Alih-alih membangun kemandirian dalam hal penyediaan makanan bergizi, masyarakat mungkin menjadi pasif dan bergantung pada distribusi makanan dari dapur SPPG. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan jangka panjang meningkatkan kesadaran dan praktik gizi di tingkat rumah tangga.
Sebagai alternatif, program ini seharusnya fokus pada pemberdayaan masyarakat untuk memproduksi dan mengelola sumber makanan lokal secara mandiri. Misalnya, program pelatihan pertanian organik atau dukungan bagi petani lokal dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan dibandingkan distribusi makanan secara langsung.
Risiko Tumpang Tindih
Indonesia sudah memiliki berbagai program yang berfokus pada peningkatan gizi, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT).
Program MBG berisiko tumpang tindih dengan inisiatif ini, baik dalam hal sasaran maupun alokasi sumber daya. Tanpa koordinasi yang baik, program-program ini bisa menjadi tidak efisien dan saling mengganggu.
Meskipun pemerintah optimistis bahwa seluruh penerima manfaat akan terjangkau dalam waktu tiga hingga lima tahun, target ini tampak terlalu ambisius mengingat tantangan logistik, anggaran, dan koordinasi.
Ada kekhawatiran bahwa setelah lima tahun, program ini mungkin tidak berkelanjutan tanpa suntikan dana tambahan yang besar. Selain itu, tanpa strategi exit yang jelas, program ini bisa berakhir sebagai solusi sementara yang tidak mengatasi akar masalah gizi buruk di Indonesia.
Catatan Utama
Program Makan Bergizi Gratis adalah langkah berani pemerintah untuk meningkatkan status gizi masyarakat Indonesia. Namun, pelaksanaannya dengan 190 lokasi dapur SPPG memunculkan berbagai tantangan yang signifikan.
Ketimpangan distribusi, infrastruktur yang tidak memadai, potensi pemborosan anggaran, dan mekanisme penyaluran yang kompleks adalah beberapa isu utama yang perlu diatasi agar program ini benar-benar efektif dan berkelanjutan.
Pemerintah perlu mengevaluasi kembali desain program ini untuk memastikan bahwa sumber daya dialokasikan secara efisien dan menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan.
Selain itu, pendekatan yang lebih berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan kolaborasi dengan program-program gizi yang sudah ada dapat menjadi solusi yang lebih baik untuk mencapai tujuan jangka panjang peningkatan gizi nasional.
Oleh: Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perjudian online telah menjadi salah satu masalah sosial yang semakin…
Oleh: Feronika Jasin, Analis Ekonomi Perusahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang sangat penting dalam…
Oleh : Rivka Mayangsari, Pengamat Ekonomi Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan, keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif Pajak…
Oleh: Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Perjudian online telah menjadi salah satu masalah sosial yang semakin…
Oleh: Feronika Jasin, Analis Ekonomi Perusahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang sangat penting dalam…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dilaksanakan…