Bangun Sistem Agropangan Berkelanjutan Demi Pengentasan Kemiskinan dan Mitigasi Iklim

 

 

NERACA

Jakarta – Sektor pertanian Indonesia masih menjadi pilar utama dalam upaya menurunkan angka kemiskinan dan pembangunan ekonomi di Indonesia. Meski kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun dari 17% pada 1995 menjadi 12-13% pada 2024, sektor ini tetap menyerap sekitar 29% dari total tenaga kerja pada 2023. 

Peran sektor pertanian dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem sejak tahun 2000 sangat signifikan. Selain itu, sektor in berpotensi menjadi kunci dalam membangun sistem agropangan berkelanjutan yang berfokus pada peningkatan produktivitas dan pengurangan emisi karbon.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan, sebanyak 72,19% petani di Indonesia berskala kecil, yang mengelola lahan 2 hektare atau kurang. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil hanya Rp5,23 juta/tahun, setara dengan Rp435.833/bulan atau sekitar Rp14.527/hari. Pendapatan ini berada jauh di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp535.547/bulan atau Rp17.851/hari.

"Sistem pertanian kita menghadapi tantangan besar, terutama perubahan iklim dan ketergantungan pada subsidi yang kurang efisien. Diperlukan pergeseran menuju intensifikasi dan teknologi untuk mencapai keberlanjutan dan daya saing. Sistem agropangan berkelanjutan tak hanya memperkuat sektor pertanian, tapi juga meningkatkan kesejahteraan petani dan stabilitas ekonomi jangka panjang," ujar Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta seperti dikutip dalam keterangannya, kemarin.

Sistem agropangan sendiri adalah rangkaian aktivitas dari produksi hingga konsumsi pangan yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, kesejahteraan petani, dan keterjangkauan bagi konsumen. 

Di Indonesia, sistem ini masih dalam tahap perkembangan, dan menghadapi tantangan serius seperti ketergantungan pada komoditas tunggal (beras, jagung, kelapa sawit). Hal ini yang membuat sistem agropangan  rentan terhadap perubahan iklim, harga, dan permintaan global. Keterbatasan akses pada teknologi dan pasar juga mempersulit distribusi pangan dan berisiko mengancam ketahanan pangan.

Transformasi ke sistem agropangan yang lebih tangguh dan berkelanjutan sangat dibutuhkan. Tujuannya adalah menciptakan ketahanan pangan, diversifikasi produk dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, Indonesia bisa beralih dari ketergantungan pada satu komoditas ke diversifikasi tanaman, praktik ramah lingkungan dan produk bernilai tambah. Selain itu, transformasi juga diharapkan mampu menciptakan sistem pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim dan tantangan ekonomi.

Intensifikasi pertanian menjadi solusi yang relevan bagi Indonesia. Melalui intensifikasi, produktivitas lahan yang terbatas dapat ditingkatkan dengan teknologi dan praktik efisien tanpa harus memperluas lahan pertanian. 

Langkah ini juga mencakup investasi pada teknologi logistik, seperti rantai pasok dingin yang dapat mengurangi susut pangan pada komoditas mudah rusak. Proyeksi nilai pasar logistik rantai dingin diperkirakan mencapai US$12,6 miliar atau setara dengan Rp199,18 triliun pada 2031, yang dapat berdampak positif pada ekonomi nasional.

Transisi ke sistem agropangan yang lebih efisien juga berpotensi menekan angka kemiskinan dan menjaga ketahanan pangan. Keterlibatan sektor swasta dalam investasi logistik dan teknologi pertanian dinilai mampu meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi pangan di Indonesia. 

Oleh karena itu, reformasi kebijakan intensifikasi pangan, pemberdayaan petani, serta pengembangan pasar dengan dukungan sektor swasta sangat diperlukan untuk mewujudkan sistem agropangan yang tangguh dan berkelanjutan. "Indonesia memerlukan reformasi sistem agropangan untuk mencapai ketahanan pangan, menekan emisi karbon, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui nilai tambah pada sektor pangan dan pertanian," tutup Aditya.

BERITA TERKAIT

Hadiri APEC di Peru, Mendag Budi Perkuat Dukungan untuk Sistem Perdagangan Multilateral

  NERACA Jakarta — Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Budi Santoso, menghadiri pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang digelar di Lima,…

Pemerintah Telah Salurkan Dana Pendidikan Rp463 Triliun

    NERACA Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menyalurkan dana…

Profil Utang akan Pengaruhi Posisi Geopolitik Indonesia

  NERACA Jakarta – Mantan Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 Marty Natalegawa mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Hadiri APEC di Peru, Mendag Budi Perkuat Dukungan untuk Sistem Perdagangan Multilateral

  NERACA Jakarta — Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Budi Santoso, menghadiri pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang digelar di Lima,…

Pemerintah Telah Salurkan Dana Pendidikan Rp463 Triliun

    NERACA Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah menyalurkan dana…

Profil Utang akan Pengaruhi Posisi Geopolitik Indonesia

  NERACA Jakarta – Mantan Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 Marty Natalegawa mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung…