Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
Rilis terbaru menegaskan bahwa jumlah kemiskinan di Indonesia mencapai 194,58 juta jiwa atau sekitar 68,25%. Hal ini terjadi pasca Bank Dunia melakukan perubahan terkait kualifikasi garis kemiskinan internasional mengacu purchasing power parity pada Juni 2025. Konsekuensinya adalah terjadinya peningkatan jumlah dari sebelumnya hanya 60,3% atau sekitar 171,8 juta jiwa.
Fakta ini bertentangan dengan data BPS yang secara rilisnya menyebut kemiskinan per September 2024 lalu mencapai 8,57% (sekitar 24,06 juta jiwa). Dualisme dalam memandang problem kemiskinan dan penentuan acuannya di Indonesia menjadi tantangan berat untuk pengentasannya. Realitas ini menjadi pembenar jika setiap ramadhan–lebaran selalu tinggi arus mudik dan baliknya karena ada banyak perantau yang datang dan kembali merantau untuk mencari perbaikan kehidupan. Meski ada otda ternyata belum bisa mengangkat kesejahteraan di daerah dan laju migrasi setiap tahunnya cenderung semakin tinggi.
Tantangan masa depan jelas semakin berat dan semua daerah harus kerja keras sebagai acuan untuk memacu peningkatan kesejahteraannya. Setidaknya agar tidak meningkat ke daerah lain dengan kasus migrasi dan perantauan. Benar jika media mengulas kemacetan di sejumlah arus di sejumlah daerah dan hal ini imbas dari arus mudik-balik yang selalu meningkat setiap tahun. Fakta kemiskinan yang terkait dengan pengangguran akibat dari fakta sempitnya lapangan kerja dan rendahnya daya beli menjadi siklus yang meresahkan.
Oleh karena itu semakin menguatnya penggunaan kecerdasan buatan juga menjadi ancaman di era masa depan, terutama jika berkaitan dengan sektor ketenagakerjaan padat karya. Terkait hal ini maka arus migrasi dan perantauan menarik dievaluasi, terutama mengacu kepentingan sosial-ekonomi-bisnis, termasuk konflik kepentingan perkotaan - sejumlah daerah penyangga.
Setidaknya, evaluasi tidak bisa lepas dari problem kompleks yang menyertainya, baik aspek mikro atau makro, juga internal dan eksternal. Oleh karena itu, evaluasi terhadap pelaksanaan 26 tahun era Otda tidak bisa diabaikan karena tingginya arus mudik - balik justru menegaskan kegagalan 26 tahun era Otda. Padahal, Otda justru semakin diwarnai pemekaran daerah dan dinasti politik yang keduanya rentan terhadap perilaku korupsi. Ironisnya, korupsi yang melibatkan kepala daerah cenderung terus meningkat.
Evaluasi arus mudik - balik dan 26 tahun Otda menjadi krusial dilakukan, terutama nanti untuk antisipasi pembangunan daerah dan fakta tingginya kemiskinan di daerah. Kasus terjadi di kepulauan Raja Ampat terkait penambangan nikel juga menjadi catatan penting dari aspek kependudukan, pengangguran dan kemiskinan. Konflik horizontal harus dicegah agar tidak memicu ancaman sosial.
Jika dicermati evaluasinya tidak saja mengacu kepentingan mereduksi penumpukan para pendatang di daerah tertentu yang berdampak sistemik terhadap ekonomi – bisnis tetapi juga implikasi terhadap kesejahteraan sosial yang ada, termasuk juga potensi konflik dari penduduk asli vs pendatang. Artinya pemetaan sejumlah kasus dari maraknya pendatang lewat arus balik esensinya yaitu memacu geliat ekonomi – bisnis karena migrasi melalui arus balik adalah untuk mencari rejeki dan perbaikan taraf hidup di perkotaan.
Fakta lain yang juga menarik dicermati adalah alokasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional - PEN di sejumlah daerah untuk menggerakan geliat ekonomi – bisnis. Alokasi dana PEN yang di tahun 2022 Rp414 triliun atau turun dibanding tahun 2021 Rp699,43 triliun diharapkan berdampak signifikan bagi kegiatan ekonomi bisnis (dana PEN 2021 naik 20,63% dari tahun 2020 yaitu Rp695,2 triliun).
Selain itu, alokasi dana desa dan dana kelurahan juga bisa diharapkan memacu ekonomi bisnis di daerah, termasuk melibatkan BUMDes demi percepatan semua kegiatan unit bisnis di daerah secara sistematis dan berkelanjutan. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah serius mereduksi ancaman kemiskinan yang berantai dengan pengangguran karena menjadi isu sensitif terhadap kinerja pemerintahan.
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Belakangan ini, berbagai ruang publik, baik media sosial maupun bermacam forum diskusi,…
Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatatkan surplus sebesar USD0,16 miliar. Surplus April 2025…
Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Rilis terbaru menegaskan bahwa jumlah kemiskinan di…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Belakangan ini, berbagai ruang publik, baik media sosial maupun bermacam forum diskusi,…
Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatatkan surplus sebesar USD0,16 miliar. Surplus April 2025…