Ekonom: Pemerintah Harus Hati-hati dan Waspada - TOTAL UTANG NEGARA HAMPIR RP 9.000 TRILIUN:

 

Jakarta-Meski belum diumumkan resmi oleh Kemenkeu (APBN Kita), total  utang pemerintah Indonesia hingga April 2025 hampir mencapai  Rp 9.000 triliun. Angka tersebut merupakan gabungan dari posisi utang per akhir Desember 2024 tercatat  Rp 8.680,13 triliun, ditambah realisasi penarikan utang baru selama Januari–April 2025 sebesar Rp 304 triliun.

NERACA

Menurut Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi,  jika menggunakan perhitungan dengan asumsi proyeksi produk domestik bruto (PDB) nominal Indonesia tahun 2025 sekitar Rp 24.000 triliun, dan utang pemerintah Rp 8,984,13 triliun, maka prosentase utang pemerintah atas PDB sebesar 37,4% per April 2025.

Meski rasio utang tersebut masih berada di bawah ambang batas aman 60% yang ditetapkan dlm UU Keuangan Negara, dan juga di bawah target APBN 2025 yang mematok rasio utang sekitar 37,9% dari PDB, Badiul menilai pemerintah perlu tetap waspada.

“Pemerintah harus hati-hati karena sudah mendekati ambang batas target rasio utang 37,9%. Karena, meskipun rasio masih aman, trennya terus naik, dan perlu dikendalikan agar tidak menekan APBN ke depan,” ujarnya seperti dikutip  Kontan.co.id (1/6).

Memang di pasar keuangan global tekanan mulai menurun karena meredanya tensi geopolitik dan perang dagang, serta ekspektasi penurunan suku bunga global khususnya dari The Fed.

Namun menurut dia,  ketenangan itu belum tentu bertahan lama. Badiul menilai risiko kenaikan suku bunga global masih terbuka lebar. Jika itu terjadi, biaya utang pemerintah bisa meningkat akibat naiknya yield Surat Berharga Negara (SBN).

Selain itu, kondisi nilai tukar rupiah juga harus diperhatikan. Dengan tekanan dari potensi capital outflow, rupiah menjadi rentan melemah terhadap fluktuasi global yang berdampak langsung terhadap besarnya kewajiban pembayaran utang.

Selain itu, dia juga menyoroti, tahun politik dan potensi perlambatan ekonomi bisa memperluas defisit fiskal. Jika ini terjadi, maka pemerintah kemungkinan besar harus menarik utang lebih besar lagi, yang berisiko menimbulkan tekanan refinancing, yakni utang jatuh tempo yang harus dibayar atau diterbitkan ulang, biasanya dengan bunga lebih tinggi. “Pada posisi diatas pemerintah harus tetap hati-hati dalam manajemen utang, mengutamakan utang berbiaya rendah, memperbesar porsi utang jangka panjang, dan menjaga ruang fiskal,” ujarnya. 

Badiul menambahkan, menlihat data dasar dan asumsi, posisi utang per April 2025 sebesar Rp 8.984,13 triliun, dengan target defisit APBN 29% terhadap PDB, proyeksi PDB 2025 sekitar Rp 24.000 triliun, maka total defisit fiskal samapai akhir tahun 2025 dikisarkan angka Rp 549,6 triliun.

Saat ini penarikan utang pemerintah sudah Rp 304 triliun maka sisa pembiayaan melalaui utang jika defisit diangka Rp549,6 triliun adalah Rp 245,6 triliun. Ini belum termasuk pembiayaan utang utk pembayaran pokok jatuh tempo dan pembiayaan investasi (non-defisit). “Biasanya ada tambahan kebutuhan bruto 20%-30% dari defisit. Makan potensi posisi utang akhir tahun 2025 berpotensi mencapai Rp9,429,7 triliun,” tutur dia. 

Untuk memberi gambaran kepada publik, Badiul juga menghitung estimasi utang pemerintah secara per kapita. Dengan asumsi populasi Indonesia pada 2025 mencapai 279 juta jiwa dan posisi utang saat ini Rp 8.984,13 triliun, maka setiap warga negara secara kasar menanggung utang sekitar Rp 32,2 juta. “Meskipun tentu saja ini bukan utang individu, melainkan tanggung jawab fiskal negara,” ungkapnya.

Karena itu, dia menekankan pentingnya kedisiplinan dalam pengelolaan fiskal. Di tengah potensi ketidakpastian ekonomi global dan dalam negeri, tata kelola utang negara harus dilakukan secara hati-hati.

Lebih lanjut, Badiul menekankan, pemerintah harus tetap disiplin dalam mengelola fiskal dengan mengelola utang secara hati-hati, terutama di tengah potensi ketidakpastian global dan domestik.

Lebih jauh, dia menyarankan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada pengendalian angka utang, tapi juga pada aspek komunikasi publik. “Serta transparansi terkait manajemen utang juga penting agar kepercayaan pasar dan masyarakat tetap terjaga,” ujarnya. 

Secara terpisah, Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menilai, melihat posisi utang Rp 9.105,09 triliun triliun pada akhir April 2025, mendorong rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mendekati 40%.

Meskipun secara aturan rasio utang ini masih di bawah ambang batas 60% dari PDB, akan tapi Rizal menyebut tren utang ini mengindikasikan adanya penambahan utang yang cukup agresif.

“Yang harus dikritisi bukan cuma nominalnya, tapi bagaimana utang itu  dikelola dan berapa besar mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi dan perbaiki kinerjanya. Kalau utangnya besar tapi kontribusi terhadap output nasional minim, itu yang perlu jadi early warning bagi pemerintah,” tutur dia, Minggu (1/6).

Dia  melihat, memang kondisi pasar keuangan saat ini sudah mulai stabil, pasca ketegangan geopolitik dan perang dagang juga mulai mereda. Tapi, kondisi tersebut bukan berarti menggambarkan kondisi fiskal dalam negeri sudah benar-benar aman. Pasalnya, pemerintah masih akan tetap menerbitkan utang hingga akhir tahun.

Selain itu, pemerintah juga memiliki pembayaran utang jatuh tempo pada Juni 2025 sekitar Rp179 triliun. “Ini bukan angka kecil. Pemerintah harus berhitung matang, jangan sampai utang jangka pendek menumpuk sementara penerimaan negara belum optimal. Risiko suku bunga global, nilai tukar, dan aliran modal tetap perlu dipantau ketat,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Rizal menghitung apabila total utang pemerintah Rp 9.105,09 triliun dibagi rata terhadap total penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 284 juta jiwa. “Maka secara teoritis setiap warga negara menanggung beban utang sekitar Rp 32,1 juta,” ujarnya. 

Meski demikian, dia menekankan tidak berarti masyarakat harus langsung membayar jumlah tersebut. Namun, data ini menggambarkan semakin sempitnya ruang fiskal pemerintah.

Maka dari itu, dia mengingatkan  penting bagi pemerintah untuk memastikan utang ini benar-benar digunakan untuk hal produktif, bukan sekadar menutup defisit jangka pendek.  “Kalau tidak, kita hanya mewariskan beban fiskal ke generasi berikutnya,” tutur dia. 

Utang Baru

Sementara itu, Kemenkeu mencatat realisasi pembiayaan utang atau penarikan utang baru mencapai Rp 250 triliun sampai periode 31 Maret 2025. Berdasarkan laporan Kemenkeu yang dikutip Selasa (15/4), realisasi ini setara 40,6% dari target penarikan utang tahun ini yang sebesar Rp 775,9 triliun di 2025.

Dalam rinciannya, total utang tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 282,6 triliun.  Jumlah ini mencapai 44% terhadap target utang dari SBN di 2025 yang sebesar Rp 642,6 triliun, dan juga tumbuh tinggi dibandingkan realisasi penerbitan SBN periode yang sama tahun 2024 sebesar Rp 104 triliun.

Sementara realisasi utang yang berasal dari pinjaman (neto) turun Rp 12,3 triliun sampai Maret 2025.  Adapun pembiayaan non utang tercatat minus Rp 20,4 triliun sampai Maret 2025. bari/agus/fba

BERITA TERKAIT

Ekonom : Swasta Harus Terlibat dalam Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…

PEMERINTAH MENAIKKAN ANGGARAN PENGADAAN MOBIL DINAS - DPR Kritik Keras Batalnya Diskon Tarif Listrik

  Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…

Paket Stimulus Belum Cukup Dongkrak Pertumbuhan 5%

    NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Ekonom : Swasta Harus Terlibat dalam Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…

PEMERINTAH MENAIKKAN ANGGARAN PENGADAAN MOBIL DINAS - DPR Kritik Keras Batalnya Diskon Tarif Listrik

  Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…

Paket Stimulus Belum Cukup Dongkrak Pertumbuhan 5%

    NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…