Penting Mereka Banyak Beraktivitas - Mengenal Metode Terapi CAPD Untuk Penderita Gagal Ginjal

Pasien penderita gagal ginjal tidak bisa lepas dari penanganan cuci darah atau hemodialisis untuk membuang racun dalam tubuhnya, namun selain hemodialisis terapi yang dapat dilakukan untuk cuci darah adalah Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), yang tidak memerlukan mesin dan bisa dilakukan di rumah. "Jadi ini suatu tindakan dialisis atau tindakan membersihkan darah yang bersifat berkesinambungan terus-menerus dan dilakukan dengan menggunakan kantong abdomen atau kantong perut sebagai tempat cairan untuk pembersih itu," kata dr Yenny Kandarini, dokter spesialis penyakit dalam RS Ngoerah dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.

Disampaikannya, CAPD boleh dijalani pasien yang sudah didiagnosis penyakit ginjal tahap akhir dan memerlukan terapi pengganti ginjal atau perlu dialisis. Namun, katanya, pasien-pasien dengan kontraindikasi tidak boleh melakukannya, misalnya yang punya gangguan pencernaan berat atau pernah dioperasi untuk menangani infeksi perut.

Pada terapi itu, katanya, selalu ada cairan dalam perut yang bekerja mencuci darah pasien, sehingga cara kerjanya mirip dengan ginjal normal yang melakukan pembersihan tiap saat. “Rata-rata cairan tersebut dimasukkan ke tubuh 4 kali dalam sehari dan tergantung jenis cairannya,”ujarnya.

Dia mencontohkan, pagi pada jam 6 atau 7 sebelum sekolah atau ke kantor, cairan tersebut dimasukkan dan dibiarkan kurang lebih 6-8 jam. Sepulang dari kantor, kemudian cairan itu diganti lagi, dan begitu pula sebelum tidur. Berdasarkan testimoni sejumlah pasien yang menjalani CAPD, lanjutnya, mereka merasa bahwa energi mereka lebih stabil, karena kotoran dari darah dibuang setiap hari, berbeda dengan yang hemodialisis biasanya hanya dua kali seminggu.

Yang terpenting, katanya, para pasien ini bisa ke kantor dan sekolah tanpa perlu absen untuk hemodialisis."Kondisi akan lebih bersih, nafsu makan lebih bagus, sesak hampir-hampir tidak ada, dan juga karena pola makan juga bagus, tentu saja yang lain menjadi biasa, dan kegiatan rutin sehari-hari juga menjadi bagus," katanya.

Dia menjelaskan, dahulu sedikit sekali dari orang-orang yang butuh cuci darah menjalani terapi CAPD, karena minimnya informasi yang beredar. Menurutnya, CAPD adalah satu metode pembersihan darah yang patut dipertimbangkan, terutama bagi yang masih banyak beraktivitas.

Dia menjelaskan, ada sejumlah hal yang dilakukan untuk terapi ini. Setelah dokter sudah melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) ke pasien dan pasien setuju, maka akan dilakukan pemasangan kateter di daerah perut, biasanya di bagian bawah kanan atau kiri, dengan teknik operasi ringan."Setelah terpasang selang itu tidak bisa langsung kita pakai untuk melakukan CAPD. Kita tunggu sembuh dulu. Sekitar 1-2 minggu baru kemudian kita akan lakukan pelatihan," ujarnya.

 

Perlu Pelatihan

Pelatihan meliputi antara lain cara memasukkan cairan dan cara mengganti. Bagi pasien yang tidak mampu melakukannya sendiri, seperti yang berusia lanjut, maka akan didampingi. Sejumlah hal yang perlu diperhatikan termasuk ketersediaan ruangan yang bersih di rumah guna melakukan penggantian cairan itu. Selain itu, sumber air bersih untuk mencuci tangan, dan penggunaan masker saat prosedur penggantian cairan."Pasien nanti akan disiapkan dalam paket dari pemerintah, dari BPJS itu kita akan kirimkan cairan CAPD itu ke rumah," katanya.

Adapun paket itu, katanya, dikirimkan sebulan sekali ke rumah pasien, dan perlu disimpan di tempat yang bersih juga."Dan yang penting juga pada pasien-pasien yang memakai CAPD ini, mempunyai pola BAB yang harus diatur supaya tidak macet cairannya. Jadi nanti agak beda dengan pasien HD (hemodialisis). Pada pasien CAPD ini, mereka akan lebih bebas untuk makan buah misalnya," jelasnya.

Sejumlah komplikasi yang dapat muncul dari terapi ini, katanya, meliputi peritonitis, yakni infeksi yang menyerang selaput perut. Gejala-gejala yang muncul seperti demam, kemudian cairan yang keluar dari dalam tubuh agak keruh.

Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI pada 2018, sebanyak 739.208 orang atau sekitar 3,8% masyarakat di Indonesia mengalami penyakit ginjal kronis. Prevalensi ini meningkat dari data Riskesdas pada 2013 yang "hanya" dua persen. Menurut data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) Global Burden of Disease (GBD) 2019, penyakit ginjal kronis masuk ke dalam 10 besar penyakit dengan kematian tertinggi di Indonesia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Dr. Eva Susanti, mengungkapkan bahwa angka kematian akibat penyakit ginjal kronis di Indonesia mencapai lebih dari 42 ribu jiwa. Disampaikannya pula, Kalimantan Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Jawa Barat, dan Maluku. Kemudian diikuti DKI Jakarta, Bali, dan DI Yogyakarta adalah provinsi dengan prevalensi penyakit ginjal kronis tertinggi di Indonesia.

BERITA TERKAIT

Dokter Juga Perlu Ikuti Tes Kejiwaannya

  Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengatakan, kebijakan Pemerintah yang mewajibkan pemeriksaan kesehatan jiwa berkala bagi peserta Program…

Gula Penyebab Diabetes? Simak Penjelasannya

  Banyak orang beranggapan bahwa makan makanan manis bisa menyebabkan diabetes, sehingga perlu dikurangi konsumsinya. Namun, benarkah gula penyebab utama…

Gaya Hidup Sehat Perbesar Peluang Program Bayi Tabung

Bayi tabung menjadi metode reproduksi buatan yang paling efektif. Metode ini semakin populer di Indonesia, terbukti dari tingginya jumlah tindakan…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Penting Mereka Banyak Beraktivitas - Mengenal Metode Terapi CAPD Untuk Penderita Gagal Ginjal

Pasien penderita gagal ginjal tidak bisa lepas dari penanganan cuci darah atau hemodialisis untuk membuang racun dalam tubuhnya, namun selain…

Dokter Juga Perlu Ikuti Tes Kejiwaannya

  Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) mengatakan, kebijakan Pemerintah yang mewajibkan pemeriksaan kesehatan jiwa berkala bagi peserta Program…

Gula Penyebab Diabetes? Simak Penjelasannya

  Banyak orang beranggapan bahwa makan makanan manis bisa menyebabkan diabetes, sehingga perlu dikurangi konsumsinya. Namun, benarkah gula penyebab utama…