Dokter spesialis bedah digestif Bethsaida Hospital Gading Serpong, dr Eko Priatno, Sp.B-KBD mengatakan, kini metode penanganan kanker rektum tanpa membuang anus sudah diterapkan melalui teknik bedah canggih."Namun, seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, kini ada solusi inovatif yang memungkinkan pasien dengan kanker rektum tetap mempertahankan anusnya,"ujarnya dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.
Perkembangan teknik imaging, seperti MRI dan Endorectal Ultrasound, memungkinkan dokter untuk memetakan secara tepat lokasi dan penyebaran tumor pada rektum. Teknik ini sangat membantu dalam menentukan keterlibatan tumor terhadap otot di dasar panggul dan otot sfingter ani yang berperan penting dalam fungsi anus.
Dengan informasi yang lebih akurat dari hasil imaging, tim dokter dapat merencanakan operasi yang lebih presisi dan aman."Teknologi imaging modern menjadi kunci dalam menilai dan menangani kanker rektum dengan lebih baik. Ini memberi kami peluang untuk mempertahankan fungsi anus pada pasien dengan cara yang sebelumnya sulit dilakukan. Melalui teknik seperti Intersphincteric Resection, kami bisa mengangkat bagian rektum yang terkena kanker tanpa mengorbankan fungsi anus pasien," katanya.
Salah satu metode yang kini banyak diterapkan di Bethsaida Hospital adalah Intersphincteric Resection, sebuah teknik bedah canggih yang memungkinkan pengangkatan sebagian rektum yang terlibat kanker tanpa menghilangkan seluruh anus. Dalam prosedur ini, bagian rektum yang terkena kanker dipotong dengan hati-hati dan minimal invasif, menjaga otot sfingter ani tetap utuh sehingga pasien masih bisa mengontrol fungsi buang air besar secara normal setelah operasi dan mengontrol BAB.
Proses ini adalah salah satu tindakan bedah digestif yang membutuhkan ketelitian dan keahlian khusus. Kanker rektum adalah salah satu jenis kanker yang menyerang saluran pencernaan bagian bawah dan sering kali menimbulkan kekhawatiran bagi penderitanya, terutama terkait kemungkinan kehilangan fungsi anus.
Gejala kanker rektum bisa bervariasi, mulai dari perubahan pola buang air besar, adanya darah pada tinja, rasa nyeri atau ketidaknyamanan pada area perut bawah, hingga penurunan berat badan tanpa sebab jelas. Penyebab kanker rektum tidak selalu diketahui secara pasti, tetapi beberapa faktor risiko meliputi riwayat keluarga, pola makan rendah serat tinggi lemak, obesitas, kurang aktivitas fisik, serta kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
Selain itu, dengan sekitar 17.000 kasus di Indonesia, kanker rektum menjadi jenis kanker yang paling umum ditemui setelah kanker payudara dan kanker serviks. Deteksi dini kanker rektum dapat dilakukan mulai dari usia 40 tahun. Prosedurnya meliputi pemeriksaan feses dan diagnosis dengan kolonoskopi. Dianjurkan untuk mengulang pemeriksaan ini sepuluh tahun kemudian. Diagnosis kanker rektum dapat dilakukan setelah dokter melakukan anamnesis (wawancara medis) dan mencatat keluhan dari pasien. Apabila ada kecurigaan yang mengarah ke kanker rektum, pemeriksaan fisik berupa rectal toucher (colok dubur) dapat dilakukan. Metode ini dapat mendeteksi massa yang terdapat sejauh 8 cm dari anus.
Mata gatal adalah keluhan umum yang sering dialami oleh banyak orang. Kondisi ini sering kali dianggap sepele, namun sangat…
Obsitas menjadi faktor yang memberikan dampak buruk terhadap kesehatan, termasuk risiko kanker rahim. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Rumah Sakit…
Dokter spesialis onkologi dari RSCM Dr. dr. Diani Kartini, Sp.B(K)Onk menilai bahwa program skrining gratis yang akan diluncurkan pada 2025…
Mata gatal adalah keluhan umum yang sering dialami oleh banyak orang. Kondisi ini sering kali dianggap sepele, namun sangat…
Obsitas menjadi faktor yang memberikan dampak buruk terhadap kesehatan, termasuk risiko kanker rahim. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi Rumah Sakit…
Dokter spesialis onkologi dari RSCM Dr. dr. Diani Kartini, Sp.B(K)Onk menilai bahwa program skrining gratis yang akan diluncurkan pada 2025…