NERACA
Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) meyakini, hidrogen merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi yang terdepan. Tidak hanya dalam bidang energi, tetapi juga dalam membentuk arsitektur perdagangan baru yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan dibangun di atas rasa saling menghormati.
Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri mengungkapkan, Indonesia dapat memanfaatkan hidrogen untuk menjadi yang terdepan dalam arsitektur perdagangan baru yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan dibangun di atas rasa saling menghormati.
“Indonesia juga harus menegaskan bahwa hidrogen hijau adalah produkmasa depan. Tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, tetapi juga geopolitik dan lingkungan. Kemitraan global baru harus dijalin dengan negara-negara yang memiliki visi jangka panjang untuk transisi energi, bukan hanya hubungan perdagangan berdasarkan volume," ungkap Roro.
Hidrogen, lanjut Roro, khususnya hidrogen hijau (green hydrogen), diproduksi melalui proses elektrolisis airmenggunakan energi terbarukan, seperti tenaga surya atau angin. Gas hidrogen dianggap layak menjadi kandidat bahan bakar kendaraan karena hanya menghasilkan emisi berupa air.
Hal itu berbeda dengan pembakaran energi fosil yang mengeluarkan emisi gas beracun atau gas rumah kaca. Di tengah gangguan global, gelombang proteksionisme baru, dan meningkatnya ketegangan perdagangan antar negara, khususnya di tengah gejolak perdagangan akibat tarif resiprokal Amerika Serikat (AS), hidrogen muncul sebagai simbol harapan.
Hidrogen dapat menjadi sumber energi yang bersih dan fleksibel yang berpotensi memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus membuka peluang baru dalam perdagangan internasional.
Lebih lanjut, Roro menjelaskan, Indonesia memandang AS sebagai mitra strategis dan berharap dapat terus membangun dialog yang terbuka dan konstruktif. Namun, Indonesia juga harus siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam hal energi, diplomasi Indonesia harus berevolusi; dari diplomasi berbasis komoditas menjadi diplomasi yang berpusat pada teknologi dan keberlanjutan.
Roro menambahkan ada beberapa langkah penting yang harus segera Indonesia lakukan untuk memimpin di sektor ini.
Pertama, mempercepat regulasi dan insentif untuk produksi dan distribusi hidrogen, termasuk untuk tujuan ekspor. Kedua, memperkuat kolaborasi teknologi dengan negara-negara maju dan mitra strategis baru.
Ketiga, diversifikasi sumber komponen utama untuk menghindari ketergantungan pada satu negara. Keempat, pengembangkan infrastruktur logistik dan distribusi, termasuk pelabuhan ekspor hidrogen khusus.
"Kita juga harus menjaga keseimbangan. Industri dalam negeri harus diperkuat dan impor dikelola dengan hati-hati. Hal ini agar tidak mengganggu neraca perdagangan kita atau memberi tekanan pada sektor strategis, seperti properti dan konstruksi, yang juga dipengaruhi tarif bahan bangunan," imbuh Roro.
Saat ini, hidrogen, termasuk hidrogen hijau, tidak termasuk di antara komoditas Indonesia yang terkena tarif tambahan yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Namun, dampak tidak langsung tetap mungkin terjadi karena banyak komponen penting dalam produksi, distribusi, dan infrastruktur hidrogen, seperti perangkat elektronik, logam khusus, dan bahan bangunan terkait dengan perdagangan internasional, termasuk dengan AS.
Selain itu, kebijakan tersebut juga mempengaruhi iklim investasi dan kerja sama teknologi lintas negara sebagai dua elemen penting untuk mengembangkan ekosistem hidrogen nasional.
Bahkan di tengah dinamika global yang tidak menentu, laporan dari Clean Technica dan sumber lainnya menunjukkan, proyek hidrogen hijau terus mengalami kemajuan secara global, bahkan ketika ketegangan perdagangan meningkat.
Hal ini menandakan bahwa sektor hidrogen relatif terlindungi dari dampak tarif langsung dan semakin dipandang sebagai solusi jangka panjang yang tidak dapat dinegosiasikan dalam upaya dekarbonisasi dunia.
Dalam konteks ini, diversifikasi pasar dan penguatan posisi Indonesia dalam rantai pasokan global menjadi semakin penting.
Negara-negara anggota Regional ComprehensiveEconomic Partnership (RCEP) seperti Jepang dan Korea Selatan, tengah mempercepat transisi energi mereka. Adapun Indonesia berpeluang untuk menjadi mitra utama dalam memasok energi bersih melalui hidrogen hijau.Indonesia memiliki sejumlah potensi strategis di sektor hidrogen, serta keunggulan unik yang tidak dimiliki oleh negara lain.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot mengungkap bahwa Indonesia memiliki kesempatan baik untuk mengembangkan hidrogen dan amonia dalam mendukung upaya transisi energi dan mendukung dekarbonisasi sistem global, karena Indonesia mempunyai modal kuat berupa sumber daya energi terbarukan yang berlimpah.
"Jadi kalau Kita lihat dari sisi pemanfaatan, itu juga bisa dimanfaatkan selain untuk kebutuhan pupuk, transportasi, shipping, aviasi dan juga dalam rangka pengolahan industri dalam negeri," imbuh Yuliot.
Presiden Prabowo Ingin Kopdes Jadi Solusi Ekonomi Rakyat Jakarta – Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono menegaskan peran strategis Koperasi Desa Merah…
Dalam Sidang IOTC, Indonesia Dapat Tambahan Kuota Tangkapan Tuna Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menambah kuota tangkapan…
Pemerintah Terus Perluas Cakupan Penerima MBG Jakarta - Pemerintah terus memperluas cakupan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari…
Presiden Prabowo Ingin Kopdes Jadi Solusi Ekonomi Rakyat Jakarta – Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono menegaskan peran strategis Koperasi Desa Merah…
Dalam Sidang IOTC, Indonesia Dapat Tambahan Kuota Tangkapan Tuna Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil menambah kuota tangkapan…
Pemerintah Terus Perluas Cakupan Penerima MBG Jakarta - Pemerintah terus memperluas cakupan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari…