ALARM DINI PERBANKAN: - Waspadai Risiko Kredit Macet dan Suramnya Kredit Rakyat

 

 

 

Oleh:  Achmad Nur Hidayat, Ekonom  UPN Veteran Jakarta

 

Apakah masyarakat masih mampu membayar utangnya? Itu pertanyaan sederhana namun sangat mendesak hari ini. Pasalnya, di tengah ancaman PHK massal, melambatnya pertumbuhan ekonomi, serta janji pekerjaan yang belum kunjung terealisasi, satu per satu rumah tangga mulai goyah.

Yang awalnya mampu membayar cicilan, kini mulai tersendat.  Usaha kecil yang dulunya produktif, kini terseok karena pasar yang lesu.  Pertanyaannya kemudian:  Apa yang sedang terjadi dengan kualitas ekonomi rakyat?

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan  (OJK) memang belum menyatakan darurat, tetapi data yang ada jelas menunjukkan tren yang harus diperhatikan dengan sangat serius.

Kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) secara nasional telah naik dari 2,08 persen pada akhir 2024 menjadi 2,24 persen per April 2025. Ini berarti, walau tampak kecil secara persentase, tren ini terjadi bersamaan dengan perlambatan penyaluran kredit.  Dengan kata lain, ketika bank lebih berhati-hati menyalurkan kredit pun, kemampuan bayar debitur tetap memburuk.

Bayangkan sistem keuangan seperti mobil yang mesinnya berjalan karena pasokan bahan bakar berupa kepercayaan dan pendapatan masyarakat.  Ketika masyarakat memiliki pendapatan stabil, kredit menjadi alat bantu percepatan: mereka membeli rumah, mengembangkan usaha, membiayai pendidikan.

Tapi ketika pendapatan menurun dan pekerjaan menghilang, kredit yang dulu membantu berubah menjadi beban.  Mobil yang tadinya melaju kini mogok, bahkan mulai mundur. Inilah yang sedang terjadi. Segmen kredit UMKM, yang menyerap hampir seluruh lapangan kerja non-formal Indonesia, menunjukkan NPL stagnan tinggi sekitar 4 persen selama setahun terakhir.

Per Maret 2025, NPL UMKM mencapai 4,14 persen—tertinggi pada segmen menengah yang mencapai 5,19 persen.  Angka ini mengindikasikan betapa rentannya pelaku usaha produktif skala kecil-menengah terhadap perubahan makroekonomi yang mereka tidak bisa kendalikan.

Di sisi lain, kredit rumah tangga yang selama ini dianggap stabil mulai terguncang.  NPL rumah tangga meningkat dari 1,99 persen menjadi 2,33 persen dalam setahun.  Yang paling mengkhawatirkan, NPL Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melonjak menjadi 3,07 persen. Ini bukan sekadar angka.

Ini adalah tanda bahwa masyarakat kelas menengah mulai kesulitan menjaga kepemilikan aset paling mendasarnya: rumah.  Ketika rumah pun terancam karena cicilan yang tak terbayar, maka ekonomi rakyat benar-benar sedang berada di ambang krisis martabat.

Kenapa ini Terjadi? Penyebabnya bukan tunggal, tetapi saling berkaitan dan menguatkan.

Ekonomi Indonesia sedang mengalami tekanan dari dua sisi sekaligus: dari sisi produksi dan dari sisi konsumsi.  Dari sisi produksi, banyak sektor usaha, khususnya UMKM dan industri padat karya, mengalami penurunan permintaan.

Pasar lesu, permintaan ekspor terbatas, dan persaingan dari produk luar negeri meningkat tajam, tanpa proteksi berarti.  Usaha menengah terpukul keras karena tidak mendapat insentif fiskal sebaik perusahaan besar.

Dari sisi konsumsi, rumah tangga menghadapi inflasi kebutuhan pokok, kenaikan biaya pendidikan dan transportasi, namun pendapatan stagnan.  Sementara itu, ketidakpastian kerja akibat PHK atau kontrak yang tidak diperpanjang membuat masyarakat tidak berani berutang lebih jauh.

Sebagian besar masyarakat bahkan harus menggunakan tabungan untuk bertahan, dan ketika tabungan habis, utang pun menumpuk. Inilah bom waktu yang sedang berdetak.

Ketika pendapatan menyusut dan utang bertambah, maka kemampuan bayar akan jatuh. Ketika banyak yang jatuh bersamaan, sistem perbankan mulai goyah.

Risiko Sistemik 

Naiknya NPL tidak hanya berdampak pada bank secara teknis.  Ia berpotensi menciptakan risiko sistemik yang menyebar ke seluruh sektor ekonomi.  Jika kualitas kredit terus memburuk, perbankan akan memperketat penyaluran kredit.

Ketika kredit dipersempit, dunia usaha kekurangan likuiditas. Akibatnya, investasi tertunda, ekspansi usaha terhenti, dan lapangan kerja tidak tumbuh.  Ekonomi macet karena aliran darahnya—yakni kredit—tersumbat. Lebih jauh lagi, jika NPL rumah tangga terus meningkat, maka konsumsi domestik—penopang utama PDB Indonesia—akan anjlok.

Di sinilah krisis sosial bisa mulai terbentuk. Ketika rumah tangga kehilangan tempat tinggal karena gagal bayar KPR, atau ketika usaha keluarga gulung tikar dan terjebak utang, maka bukan hanya keuangan yang kolaps, tetapi juga rasa aman sosial.

Apa yang Harus Dilakukan?

Masalah ini tidak bisa dibiarkan berjalan seperti biasa. Dibutuhkan keberanian pemerintah dan dunia perbankan untuk bertindak lebih proaktif dan berpihak. Perbankan perlu menyesuaikan model bisnisnya dengan kenyataan sosial.  Tidak bisa lagi sekadar mengandalkan jaminan atau skor kredit konvensional.

Bank harus turun langsung ke lapangan, memahami usaha kecil dan rumah tangga yang sedang kesulitan, dan menawarkan skema yang lebih manusiawi: penjadwalan ulang, penurunan bunga, bahkan penghapusan sebagian bunga berjalan.

Pemerintah harus hadir bukan sebagai komentator, tetapi sebagai penjamin kepercayaan.  Subsidi bunga untuk kredit mikro harus digulirkan kembali, khususnya untuk sektor produktif rakyat.  Bantuan sosial perlu dihubungkan dengan perlindungan utang rumah tangga, agar keluarga tidak tergelincir menjadi miskin permanen hanya karena gagal membayar cicilan.

Negara juga harus melibatkan BUMN dan BUMD untuk menyerap produk UMKM, menciptakan pasar yang pasti agar usaha kecil tetap bisa hidup dan membayar kreditnya.

Selain itu, regulasi keuangan harus diarahkan untuk mendorong inklusi. Fintech dan bank digital tidak boleh hanya menyasar segmen konsumtif dengan bunga tinggi, tetapi harus diarahkan untuk mendukung pinjaman produktif dengan bunga rendah dan risiko terkendali.

Masalahnya kredit adalah janji masa depan. Ketika rakyat tidak bisa lagi menepati janjinya kepada bank, itu bukan karena mereka malas atau lalai, tetapi karena sistem ekonomi tidak memberi mereka cukup ruang untuk bernapas.  Maka, meningkatnya kredit macet adalah sinyal bahwa mesin ekonomi kita perlu diservis ulang.

Hari ini, kita belum berada di krisis keuangan. Tapi jika tidak ada koreksi arah kebijakan dan tidak ada intervensi sosial yang berani, kita sedang berjalan menuju sana. Dan seperti mobil yang remnya mulai blong, kita harus bertindak sebelum tanjakan berikutnya membuat semuanya terlambat.

Pemerintah dan perbankan tidak bisa lagi bekerja dengan logika lama. Kita butuh kebijakan yang adil, adaptif, dan berani berpihak pada rakyat. Karena ekonomi yang sehat bukan hanya tercermin dari PDB atau neraca bank yang aman, tetapi dari kehidupan sehari-hari keluarga yang masih bisa tersenyum karena cicilannya masih mampu dibayar.

BERITA TERKAIT

Kopdes Merah Putih Wujud Nyata Transformasi Ekonomi Desa

    Oleh: Eleine Pramesti, Pemerhati  Ekonomi Pembangunan       Koperasi Desa Merah Putih berakar pada prinsip dasar koperasi…

Swasembada Pangan Prioritas Utama Pemerintahan Prabowo

    Oleh : Bahtiar Ardie, Pengamat Pertanian   Swasembada pangan menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan nasional di bawah…

Waspadai Bahaya Judi Daring, Ancaman Nyata bagi Keluarga dan Masa Depan Bangsa

    Oleh: Cahyo Widjaya, Peneliti Ekonomi Kerakyatan   Maraknya praktik judi daring (online) dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi…

BERITA LAINNYA DI Opini

Kopdes Merah Putih Wujud Nyata Transformasi Ekonomi Desa

    Oleh: Eleine Pramesti, Pemerhati  Ekonomi Pembangunan       Koperasi Desa Merah Putih berakar pada prinsip dasar koperasi…

Swasembada Pangan Prioritas Utama Pemerintahan Prabowo

    Oleh : Bahtiar Ardie, Pengamat Pertanian   Swasembada pangan menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan nasional di bawah…

Waspadai Bahaya Judi Daring, Ancaman Nyata bagi Keluarga dan Masa Depan Bangsa

    Oleh: Cahyo Widjaya, Peneliti Ekonomi Kerakyatan   Maraknya praktik judi daring (online) dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi…

Berita Terpopuler